Langit hitam membentang dengan taburan bintang
Lampu di sudut kota, bisingan laju para pengendara
Dan orang-orang yang masih tersisa disana
Ku simak setiap kehidupan kala petang datang
Laju motor Vespa temanku dalam kecepatan sedang, yang membawa aku dalam keadaan sangat lapar. Seakan cacing-cacingnya berteriak di dalam perutku. Resto mana yang murah dan masih bersedia melayani kami tengah malam itu? Kami rasa tak ada. Dan sialnya perut dan lidah seperti bekerja sama untuk merayu otak dan memberikan hormon yang memacuku menginginkan sebungkus nasi uduk. "What's? Nasi uduk? Jam segini?" Temanku yang awalnya menawarkannya saat mengetahui resto2 enak itu sudah tutup, kecuali resto junkfood yg ada di sebrang lampu merah itu, tapi makanannya seperti itu-itu saja, daging dan sayuran yang dilapisi roti, frenchfries, ice cream, ayam goreng. Tak mengundang air liurku naik ke permukaan lidah ini. Namun setelah mendengar nasi uduk yg katanya enak banget, lidah tak sabar ingin segera menyentuhnya. Vespa temanku melaju ke sebuah tongkrongan di samping Mall, salah satu mall yg ada di kota ini.
Aku sudah melihat kumpulan anak-anak muda di dekat mobil dan jajaran motor Vespa dari kejauhan sebelum akhirrnya sampai pada tempat yang dimaksud. Nasi uduknya ternyata dijual di mobil, dan ternyata sudah habis. Hummmm sayang sekali, belum rezeki. Akhirnya saya hanya pesan coffe ice. Karna bingung mau kemana lagi, akhirnya saya ikut gabung dengan sekumpulan anak2 itu, awal saya datang, saya tau, saya sebagai minoritas, yang berhijab, memakai pakaian sangat tertutup, tidak seperti mereka beberapa wanita yang baru saja berkenalan denganku akhirnya. Asap rokok dikeluarkan dari mulutnya, seperti ada rasa rilex yg mereka rasa, paha mulusnya, lengan dengan tatto, wajahnya, membuat aku menyayangkan mereka. Gadis secantik mereka kenapa harus masih disini dengan beberapa pria dan berpakaian seperti ini? Dan puntung rokok di depannya.
Terlalu keras aku memikirkan mereka, kurasa. Satu dari mereka mulai mendekat dan mengajakku bercengkrama tentang tempat lahirku. Ahh tempat lahirku pun jikalau sudah jam seperti ini masih ada yang seperti mereka. Hanya saja dulu aku tak sempat mengenal kaumnya. Mungkin mereka takkan membuat kegaduhan orang sekitar, hanya saja mungkin agak sedikit menyimpang dari visi sebuah kota yang katanya "modern,cerdas dan religious." Kurasa petang sudah semakin larut dan masa mulai berkurang di liarnya kota. Aku pulang tanpa membawa nasi uduk, kwetiaw yang menjadi tujuan membekam cacing2 di perutku.
Masih belum bisa memejamkan mata, dan aku sedikit memanfaatkan medsos untuk mencari, cerita apa yg akan kudapat dari recent update ku. Ternyata teman yang baru saja menolong sepupunya dikeroyok oleh segerombolan orang. Merinding bulu kudukku. Di setiap sudut kota ini ada saja sisi negatif yang terjadi? Beginikah kota mati yg dulu aku bilang? Ini bukan Ibu Kota, hanya tetangga, tapi ternyata ada sisi buruk seperti kota2 besar pada umunya. Temanku sedikit bercerita juga tentang dirinya yg dulu boleh dibilang brutal *maap . Tapi sekarang dia bilang sudah sadar, entahlah.. Tak ada yg tau revolusi seseorang sebelum orang lain yang banyak mengatakannya bahwa dia benar2 berevolusi. Mungkinkah sebuah kota membawa revolusi yang baik terhadap masyarakatnya? Dan sedikit membangun jiwa muda untuk kegiatan positif saat tengah malam tiba?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
coment here