Wusssss……. mobil itu melaju kencang di hadapan Putri saat ia hendak menyebrang memasuki gerbang sekolahnya. Hampir saja mobil itu menyerempet tubuh gadis yang baru berusia 16 tahun itu.
“Putri..!” teriak seseorang sembari lari mendekatinya.
“Kamu gak apa-apa kan? Ya ampun. Gila ya itu mobil! Gak bisa baca peringatan di palang itu ya!” sembari menunjuk palang yang bertuliskan bahwa daerah ini daerah anak sekolah, maka semua pengendara harus berhati-hati dan mengurangi kecepatan.
“Dasar buta huruf! Harusnya dia bisa hati-hati!” tambah Desy lagi, Desy adalah teman sekelas dari Putri.
“udah..gak apa-apa kok.” Putri menenangkan Desy yang memang agak tempramen.
“tapi kamu hampir keserempet tadi! Itu mobil juga malah pergi gitu aja. Bukannya berenti dulu kek! Minta maaf sama kamu!”
“ya udah lah.. sekarang kita ke kelas yuk.” Jawab Putri sambil mengajak Desy segera masuk ke kelasnya karena hari ini akan ada ulangan.
Hari sudah siang, lonceng berbunyi tanda jam pelajaran telah usai. Dan saatnya semua siswa/i SMA favorit di kota Bandung itu untuk pulang.
Putri dan teman-temannya saat itu hendak pergi ke toko buku setelah pulang sekolah. Memang saat itu putri ingin sekali membeli novel ‘My Name Is Red’ karya Orhan Pamuk. Saat Putri sedang mencari, dan telah menemukannya, ternyata ada seorang anak laki-laki yang juga ingin membeli buku itu. Dan kebetulan buku itu hanya sisa satu di toko tersebut. Putri dan anak laki-laki itu sempat berebut untuk bisa mendapatkan buku tersebut, tapi akhirnya buku tersebut jatuh ke tangan anak laki-laki tersebut karena Putri yang keburu kesal pada anak laki-laki itu.
Akhirnya Putri dan teman-temannya memutuskan untuk pulang menggunakan taksi karna hari sudah hampir malam.
“Kenapa, Put? Kok masih cemberut aja.” tanya Rio yang juga teman sekelas Putri.
“Kamu masih kepikiran buku yang direbut sama cowok itu ya? Udah, Put.. nanti kita cari lagi aja buku itu. ” tambah Astrid yang juga teman Putri.
“Kalo kamu jodoh sama buku itu, nanti juga ketemu lagi sama orangnya. Dan dia bakal kembaliin buku itu ke kamu, Put..” tambah Rio lagi.
“Bukan sama orangnya jodohnya? Sama bukunya? Kamu gak ngebet sama cowok itu, Put? Lumayan cakep padahal, yahh..meskipun agak sensi sih orangnya..” ledek Desy pada Putri sambil tertawa.
Keesokan harinya saat Putri sedang jalan di koridor sekolahnya yang menuju ke lab kesenian, “Bruk!” Seseorang tak sengaja menabraknya. “Aduh!” Putri terjatuh. “Lo punya mata gak sih?” anak lelaki itu malah menyalahkan Putri. Saat anak laki-laki itu melihat wajah Putri, “Lo yg waktu itu di toko buku kan?” tanyanya sambil mengerutkan dahinya. “oh..lo sekolah disini juga. Siapa nama lo?” saat anak laki-laki itu hendak mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan dirinya, Putri dipanggil oleh temannya untuk segera ke ruang kesenian.
Putri memang anak yang berbakat dalam bidang kesenian. Terutama dalam bermain piano. Beberapa prestasi yang luar biasa telah ia raih. Meskipun sebenarnya ayahnya melarang ia untuk bermain musik, hanya karna kakaknya yang dulu pernah bergabung dalam satu grup band dan mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan kini ia telah meninggal dunia.
“Plak!” tamparan itu mengenai pipinya.
“Sudah lah Pah. Jangan lagi menghukum Putri seperti ini! Kasian dia!” jelas ibunya yang melindungi Putri dari kemarahan ayahnya. Ibunya langsung membawa Putri ke kamarnya.
“Papah tetep gak setuju dia bermain music,Mah ! Apapun itu!” tak ada yang berani melawan kemarahan ayah Putri. Ibunya pun hanya bisa melindungi Putri, untuk melawan kemarahan suaminya, ia tak mampu.
Namun Putri akan tetap mengisi acara perpisahan kelas yang akan diselenggarakan 2 bulan lagi. Karena penampilan itu mungkin akan menjadi terakhir kalinya di sekolahnya sebelum ia dipindahkan ke Ausi oleh ayahnya.
Suatu malam saat hujan lebat, sepulang dari rumah Astrid untuk mengerjakan tugas bersama, Putri yang sedang berteduh di halte sambil menunggu taksi, tanpa sengaja ia bertemu dengan anak laki-laki yang menubruknya saat di sekolah. Anak laki-laki itu tidak lain teman Putri satu sekolahnya, dia anak baru pindahan dari Jakarta yang saat itu pernah bertemu Putri di toko buku bersama teman-temannya.
Hujan mulai reda, namun tak ada satupun taksi menghampirinya. Akhirnya Putri menerima ajakan anak laki-laki itu untuk pulang bersama dengannya, karena hari sudah larut malam.
“makasih ya, Sat.” kata Putri pada Satria.
“sama-sama.” Jawab Satria.
“Ini sweater kamu.” Putri hendak mengembalikan sweater Satria yang ia pinjam saat dijalan tadi.
“Oh. Gak apa-apa, pakai aja dulu. Oh iya, ini, waktu itu aku mau kembalikan sama kamu, tapi keburu kamu masuk ke ruang kesenian.” Satria pun hendak mengembalikan buku milik putri.
“oh. Makasih ya,” jawabnya.
Tanpa Putri dan Satria ketahui, ayah Putri melihat percakapan mereka di luar gerbang itu. ayah Putri tidak menyukai jika ada laki-laki yang dekat dengan Putri tanpa sepengetahuannya.
Esok harinya pukul 7 pagi, tak seperti biasanya Putri belum keluar dari kamarnya. Setelah ibunya masuk ke kamarnya, terlihat Putri sudah tergeletak tak berdaya di samping tempat tidurnya. Saat itu ia langsung dilarikan ke rumah sakit.
Beberapa jam kemudian, dokter keluar dari ruang ICU.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanya ibunya.
“Anak ibu terserang types.. “ jelas Dokter.
Setelah hampir 3 minggu menghabiskan waktu di rumah sakit untuk menjalani rawat inap, Putri akhirnya sembuh, ia masuk sekolah seperti biasa.
Saat istirahat, Satria menghampirinya yang sedang membaca buku di taman sekolah.
“Hai..” sapa Satria.
“Hai.” Jawabnya lembut sambil tersenyum kecil.
“Lagi ngapain disini?” tanya Satria memulai obrolan sambil duduk disampingnya.
“Lagi nyantai aja.” jawabnya.
“Oh..eh, kok gak biasanya sendirian? Temenya pada kemana?” tanya Satria.
“Mereka lagi ada pelatihan drama buat acara perpisahan nanti.” Jelas Putri.
“Oh.. eh, kemaren-kemaren kamu gak masuk ya? katanya sakit, kalau boleh aku tau, sakit apa? ” tanya Satria.
“Iya, sakit types.” Jawabnya dengan senyum kecilnya.
Ditengah obrolan mereka, bel berbunyi, tanda waktu istirahat telah habis. Putri dan Satria memasuki kelasnya masing-masing. Satria sempat mengatakan sesuatu bahwa ia ingin mengajak Putri ke toko buku sepulang sekolah, dan Putri pun mengiyakan.
Saat di toko buku, Putri melihat ayahnya dari kaca toko buku tersebut, beliau bersama wanita lain yang keluar dari café sebelah toko buku yang Putri dan Satria kunjungi. Tak kuasa menahan tangis, karena ini bukan kali pertama Putri melihat ayahnya bersama dengan wanita itu di luar rumah. Saat itu juga Putri langsung mengajak Satria untuk pulang.
Di perjalanan, “kamu gak apa-apa kan, Put?” tanya Satria sambil melihat wajah Putri pada kaca spion motor RR King kesayangannya itu. “Gak apa-apa kok, Sat.” jawabnya lugu.
Sesampainya di rumah, Putri langsung masuk kamar dan menangis.. hampir tiap malam ia seperti itu. Hingga pada satu malam, Astrid dan Dessy menginap di rumahnya untuk menemaninya, karna orang tua Putri sedang ke Ausi untuk survey sekolah baru Putri nanti. Namun mereka mendapatkan Putri pingsan di kamarnya.
Setelah diperiksa oleh dokter spesialisnya, ternyata penyakit Putri makin parah. Kanker otak yang diderita Putri kini menjalar ke sebagian tubuhnya. Desy dan Astrid benar-benar bingung, apa yang harus mereka lakukan, karna sebelumnya, Putri pernah memberi pesan bahwa kabar soal penyakitnya itu jangan sampai ada yang tahu, termasuk orang tuanya dan Satria. Putri juga sudah menceritakan dirinya tengah dekat dengan Satria pada kedua sahabatnya itu.
Siang itu, Satria menghampiri Astrid yang sedang menuju kelas.
“Astrid!” panggil Satria.
“Ada apa, Ya?” tanya Astrid.
“Putri kemana? Udah 2 hari aku gak lihat dia. Aku telepon juga gak diangkat.” Tanya Satria sambil menceritakan kerisauannya pada Putri.
“hmm..besok dia masuk.”jawab Astrid dengan tidak memberi penjelasan kenapa Putri tak masuk 2 hari itu.
Namun Satria tak menanyakannya lagi, karna Astrid langsung masuk ke kelasnya dan bergabung dengan Desy dan Rio.
Keesokan harinya, Putri sudah masuk sekolah,saat jam istirahat tiba, seperti biasa, ia menyendiri di taman sekolah, dan Satria menghampirinya.
“Put.” Sapa Satria.
“Sendirian lagi?” tanyanya.
“iya,” jawabnya sambil senyum kecil di wajah pucatnya.
“eh, aku punya sesuatu nih.” Satria mengambil sesuatu dari saku seragamnya, ternyata itu gelang. Ia lalu memasangnya di pergelangan tangan Putri.
“Biar kamu semangat saat pentas besok malam.” Tambahnya lagi.
“makasih ya, Sat.” kata Putri.
Malam harinya, Saat itu Putri ternyata ulang tahun yang ke-17. Ia mendapat ucapan pertama kalinya dari Satria, setelah itu ibunya, dan barulah sahabat-sahabatnya. Siang hari sebelum Putri hendak gladiresik untuk pentas perpisahan yang diadakan nanti malam, ia mendapat surat dari Pengadilan Agama, yang menyatakan bahwa Ibu dan Ayahnya harus datang di meja hijau minggu depan. Tersentak Putri tak menyangka bahwa ayah dan ibunya akan bercerai. Putri akhirnya pingsan kembali dan sempat dilarikan ke rumah sakit, Satria yang akhirnya mengetahiu kabar itu dari Astrid, Desy dan Rio, tersentak kaget, dan menerima kabar bahwa Kanker otak Putri kini telah mencapai stadium akhir. Virusnya telah menjalar ke seluruh tubuh. 3 jam sebelum acara perpisahan dimulai, Putri sadarkan diri, dan ia memaksakan diri untuk tampil di acara tersebut. Akhirnya ia sempat tampil di acara tersebut. Lantunan lagu ia aransemen sendiri berjudul ‘senandung Sepi’ dan pianonya membuat orang-orang terkagum dan terharu. Setelah acara itu berakhir, Putri dan Satria duduk di bangku samping gedung acara itu.
“Satria, aku mau kasih ini sama kamu. “ Putri memberikan gantungan kunci berwarna biru yang berbentuk ‘S’ huruf awal nama dirinya.
“bagus, Put.. kamu tau aja aku suka warna Biru,” kata Satria.
“ kamu tau gak, artinya ‘S’ itu apa?” tanya Putri.
“itu kan huruf awal dari nama aku.” kata Satria.
“bukan.. ‘S’ itu, ‘semangat’ , karna kmu udah jadi penyemangat di hidup aku.” kata Putri sambil melihat keatas,bulan bersinar menyinari mereka berdua.
“harusnya ‘S’ ini aku kasih sma kamu untuk kata ‘senyum’ karna kamu selalu tersenyum sama aku , dan kamu semangat menjalani hidup ini. Jelas Satria.
“Put, malam ini kamu cantik. Aku suka sama lagu yang kamu bawakan tadi.”
“oya, aku mau kasih ini, ” Satria memberikan buku yang saat itu ia perebutkan dengan Putri.
Putri hanya tersenyum, tersirat di wajah pucatnya, ia mengingat sesuatu saat melihat buku itu.
“ini buat kamu, kamu lebih berhak dapat buku ini. Dan ini, sesuatu yang melambangkan kamu di hati aku selama ini.” Satria juga memberikannya mawar putih. Saat itu juga Satria pun menyatakan cintanya,meskipun awalnya Putri tak menerimanya karna keadaan Putri saat itu. tapi untuk Satria, Putri lah yang bisa membuatnya bahagia. Setelah Satria berhasil meyakinkan Putri, akhirnya Putri pun menerima cintanya.
“eh, aku juga sebenarnya punya lagu lho!”
Satria menyanyikan lagu itu di depan Putri, karna lagu itu terinspirasi dari Putri sendiri.
Saat selesai menyanyikan lagu itu.. Ia mencium kening Putri.
Satria menaruh kepala Putri di pundaknya, dan tangan Putri disilangkan di lengannya.
“Aku bahagia malam ini Tuhan.. kau mengizinkan aku memilikinya. Aku harap ini tak hanya mala mini saja. Namun jadikanlah malam ini malam yang sempurna untuk aku dan dia. Put, kamu bidadari di hidup aku sekarang, kamu mau kan, jadi bidadari aku di surga nanti, temani aku di istanaku..” Satria berbicara pada Putri, namun Putri saat itu hanya diam, saat Satria melihat wajahnya, Matanya tertutup… Tak ada lagi hembusan nafas dari hidungnya..
Putri telah tiada…. Orang tuanya yang pulang dari Ausi begitu sontak mendengar kabar bahwa Putri telah tiada.. kini ‘Senandung Sepi’ itu hanya ada dalam ingatan orang-orang yang Putri tinggalkan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
coment here